Pendirian BUMN memiliki tujuan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan menghasilkan keuntungan bukanlah merupakan tujuan pendirian sebuah BUMN. Hal ini disampaikan oleh Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Tulus T. H. Tambunan selaku ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman ini digelar pada Rabu (23/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Tulus menyebut Pasal 2 ayat 1 huruf b UU BUMN pada frasa “mengejar keuntungan” berbau kapitalisme serta bertentangan dengan asas awal pendirian BUMN. Menurutnya, pendirian BUMN merupakan konsekuensi logis Pasal 33 UUD 1945. BUMN, sambungnya, seharusnya memiliki tujuan sosial seperti halnya UU Koperasi. Dalam pandangannya, pada pasal tersebut tidak disebutkan tujuan koperasi untuk mencari keuntungan. Namun dengan pemahaman, keuntungan adalah selisih positif antara penjualan dan biaya. Apabila tidak ada selisih positif antara kedua hal tersebut, dalam UU Koperasi disebut sebagai sisa hasil usaha.
“Membuat keuntungan bukan merupakan sebuah tujuan, melainkan kondisi atau syarat untuk mencapai tujuan tersebut. Karena mengejar atau menghasilkan keuntungan bukan merupakan tujuan dari pendirian BUMN, namun sangat penting agar BUMN dapat berperan optimal sesuai tujuan-tujuan sosialnya, maka seperti halnya Undang-Undang Perkoperasian yang punya pasal tersendiri mengenai SHU, aspek keuntungan di dalam Undang-Undang BUMN dapat dicantumkan di pasal tersendiri,” paparnya.
Untuk itu, Tulus meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mengubah frasa tersebut dengan kata yang lebih positif dari perspektif sosial. Ia mengusulkan dengan kata “keuntungan usaha”. “Maka isi Pasal 2 ayat (1) huruf a adalah kurang lebih sebagai berikut; ‘Demi menunjang BUMN untuk dapat berperan optimal sesuai dengan tujuan-tujuan pendiriannya, BUMN harus dikelola secara profesional layaknya sebuah perusahaan swasta modern agar efisiensi 8 usaha tersebut tercapai dan selanjutnya menghasilkan keuntungan usaha’,” terangnya.
Lebih lanjut ,Tulus menjabarkan belum optimalnya peran BUMN perlu ditinjau kembali Pasal 2 ayat (1) mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN. Dalam pasal tersebut BUMN memiliki peran dalam perekonomian nasional, terutama sebagai motor penggerak pertumbuhan PDB, sumber penciptaan kesempatan kerja, dan sumber pendapatan negara. Sama halnya dengan peran BUMN, meskipun semuanya penting secara implisit, namun akan muncul kecenderungan membuat prioritas. Utamanya ketika segala sumber daya yang diperlukan terbatas.
Berpotensi Multitafsir
Pada sidang yang sama, ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Johanes Usfunan menyampaikan substansi Pasal 2ayat (1) huruf a UU BUMN norma hukumnya kabur sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir. Hal tersebut, menurut Johanes, tercermin dari rumusan memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Penggunaan frasa sumbangan danperkembangan mengandung makna sukarela, tidak mengikat, dan tidak ada target. Seharusnya, jelas Johanes, rumusan yang jelas adalah mendorong peningkatan kemajuan perekonomian.
Di samping itu, lanjut Johanes, frasa sumbangan danperkembangan, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan. Dengan arti kata, penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN yang merugikan kepentingan masyarakat termasuk Pemohon. Ia melanjutkan frasa tersebut digunakan sebagai justifikasi terhadap ketidakberhasilan suatu kegiatan BUMN atau sebaliknya. Selanjutnya, karena sifatnya hanya memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian, kemungkinan dapat disalahgunakan sebagai alasan oleh oknum tertentu pengelola BUMN untuk mengelak dari kemungkinan suatu tuduhan bahwa BUMN tidak berhasil.
“Jadi, penjelasan ketentuan dalam pasal a quo jelas semakin kabur dan seharusnya rumusan yang jelas adalah BUMN wajib meningkatkan mutu pelayan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” terang Johanes.
Melibatkan DPR
Terkait Pasal 4 ayat (4) UU BUMN yang menjadi objek dalam perkara yang teregistrasi Nomor 14/PUU-XVI/2018 ini, Johanes menegaskan pentingnya pengawasan DPR dalam kegiatan tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN berkaitan dengan wewenang delegasi mengatur dengan peraturan pemerintah (PP). Menurutnya, DPR merupakan representasi rakyat juga berfungsi legislasi penyusun anggaran melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Untuk itu, lanjutnya, penting perlu adanya pengawasan dari DPR.
Kemudian, Johanes menerangkan pelaksanaan penyertaan modal BUMN yang tidak dilakukan melalui mekanisme APBN bertentangan dengan Putusan MK Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 31 Juli 2012 yang menentukanpenyertaan modal negara pada suatu BUMN atau PT merupakan kewenangan konstitusional pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.
“Jadi, delegasi wewenang yang mengatur dengan PP sebagaimana diatur pasal a quo melemahkan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan anggaran melalui RUU APBN oleh DPR. Selain itu, hal tersebut berpeluang menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena pengelolaan BUMN tanpa pengawasan DPR,” tegas Johanes.
Sebelumnya, Albertus Magnus Putut Prabantoro, dkk., selaku Pemohon mendalilkan dua pasal dalam UU BUMN tersebut merugikan hak konstitusionalnya karena keberadaan pasal-pasal tersebut telah diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero. Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang tersebut, terdapat tiga BUMN yang dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum).Adapun tiga BUMN yang dimaksud yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.Selain itu, Pemohon menilai implimentasi dari UU BUMN tersebut juga telah menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Akibatnya, ketentuan initelah menghilangkan BUMN dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan persidangan akan dilanjutkan pada Selasa, 26 Juni 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan tiga Ahli dari Pemerintah. (Sri Pujianti/LA)