Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin belajar berbagai hal terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedatangan 50 mahasiswa tersebut diterima oleh Peneliti MK Irfan Nur Rachman di aula Gedung MK, Senin (23/4) siang.
Irfan memaparkan beberapa putusan penting MK. Misalnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan yang diajukan Machica Mochtar. MK memutuskan anak di luar perkawinan juga menjadi tanggung jawab bapaknya, bukan hanya ibunya. Alhasil, hak keperdataan Machica kembali pulih, yang meliputi hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak harta waris dan lainnya.
“Itulah kemudian putusan MK bisa menafsirkan norma, pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Putusan MK pula bisa menghapuskan norma atau pasal dalam undang-undang yang lain,” ungkap Irfan.
Irfan mencontohkan, MK pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan narapidana atau terpidana hanya memiliki satu kali kesempatan melakukan Peninjauan Kembali (PK).
“Pasal tersebut kemudian dihapuskan oleh MK karena pasal itu dinilai melanggar asas peradilan. Karena boleh jadi novum atau bukti baru bisa ditemukan kapan saja, tidak bisa dibatasi oleh waktu. Misalkan seseorang melakukan PK tapi ditolak. Lalu ada bukti baru yang kalau dihadirkan dalam persidangan, boleh jadi si terpidana bebas. Sehingga menurut MK, ini terkait dengan asas keadilan dan bukan asas kepastian hukum,” papar Irfan.
Dikatakan Irfan, kalau asas kepastian hukum, jika perkara itu sudah inkracht atau putusannya sudah tetap, maka masalah kepastian hukum berhenti sampai di situ. Masalah keadilan tidak berhenti di situ. Karena masalah PK atau bukti baru termasuk asas keadilan. “Dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi, PK bisa diajukan lebih dari satu kali,” imbuh Irfan.
Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian, lanjut Irfan, putusan MK itu harus dijadikan arah pembangunan hukum nasional. Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada penjelasan, maka Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang diturunkan dari kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini sebagai Penafsir Akhir Konstitusi.
“Tafsir dari MK harus diperhatikan oleh para pembentuk hukum, terutama DPR dan Presiden, termasuk juga kandidat Presiden. Ketika kandidat Presiden ingin menyampaikan visi dan misinya dalam Pemilu 2019 misalnya, maka visi dan misinya itu harus berdasarkan putusan MK,” tandas Irfan.
Pada pertemuan itu, Irfan juga menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki MK. Kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Irfan menambahkan bahwa lahirnya MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003 sebagai jawaban dari amanat reformasi, yaitu diperlukan adanya lembaga yang dapat melakukan judicial review. (Nano Tresna Arfana/LA)