Muhammad Hafidz yang merupakan pemohon perseorangan melakukan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pemohon Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 ini mendalilkan Pasal 182 huruf I sepanjang frasa “pekerjaan lain” yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 182 huruf l berbunyi, “Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan (l) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum, menjelaskan dirinya merupakan peserta pemilu tahun 2014 dari calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan KPU pada 28 Agustus 2013. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan dirinya di dalam lembaga DPD sebagai representasi masyarakat lokal untuk mewakili daerahnya menyatakan norma a quo sepanjang frasa “pekerjaan lain” mengandung ketidakjelasan maksud. Sebab, sebagai fungsionaris parpol berikut juga sebagai anggota DPD yang memiliki jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan kepengurusan di parpol sudah dapat dipastikan akan mengalami konflik kepentingan di antara kedua jabatan tersebut.
Artinya, sangat terbuka kemungkinan adanya konflik kepentingan meskipun parpol yang menjadi wadah aspirasi politiknya tidak ikut menjadi peserta pemilu. Hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi karena masih adanya kemungkinan bagi parpol yang dimaksud pada pemilu yang akan datang bagi parpolnya untuk kembali mendaftar jadi peserta pemilu. Untuk itu, dalam petitum permohonan, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termaksud dengan fungsionaris partai politik.
“Sehingga anggota DPD yang juga bekerja sebagai fungsionaris parpol akan diwajibkan oleh partainya untuk mewujudkan keinginan partai tersebut menjadi peserta pemilu yang akan datang. Oleh karenanya, keadaan tersebut akan memaksa terjadinya benturan kepentingan sebagai anggota DPD dan juga sebagai fungsionaris parpol,” jelas Hafidz.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta frasa “pekerja lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk sebagai fungsionaris parpol.
Elaborasi Dalil Permohonan
Berkaitan dengan perkara yang diajukan Pemohon, Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan perlu dilakukan elaborasi dari kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Hal tersebut karena Pemohon dalam pernyataannya tidak merasa keberatan dengan frasa “pekerjaan lain”. “Saudara tidak keberatan frasa “pekerjaan lain” itu, sepanjang tidak meliputi fungsionaris parpol. Jadi, ini perlu elaborasi lagi agar terlihat kerugian konstitusional yang seperti apa yang benar-benar dialami,” saran Aswanto pada Pemohon Perkara 30 yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar Pemohon menjelaskan keberadaan DPD pada masa awal ada dengan komposisi DPD pada saat ini. Hal ini diperlukan agar Mahkamah dapat melihat keberadaan anggota DPD dari masa ke masa. “Dari hal ini terlihat Anda yang saat ini menjadi anggota DPD saingannya siapa. Selain itu, perlu juga Anda jelaskan pekerjaan lainya itu apa saja? Kalau fungsionaris parpolbagaimana dan anggota parpol bagaimana?” jelas Maria.
Pada akhir persidangan, Wakil MK Aswanto menyampaikan para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya menyerahkan perbaikan permohonan hingga Senin, 30 April 2018 pukul 10.00 WIB, untuk kemudian dapat diagendakan sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA)