Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi (MK) Anak Agung Dian Onita menerima kunjungan 63 mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali pada Rabu (11/4) pagi di Ruang Delegasi Gedung MK.
“Mahkamah Konstitusi adalah institusi yang lahir dari rahim reformasi. Seiring dengan adanya Teori Kedaulatan Hukum dan Pemisahan Kekuasaan, maka perlu dibentuk peradilan konstitusi,” ujar Anak Agung Dian Onita yang akrab disapa Dian Onita.
Dian menjelaskan, setelah terjadi reformasi dan amendemen UUD 1945, terjadi perubahan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. MPR yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi, setelah Perubahan UUD 1945 kedudukan MPR setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Termasuk keberadaan MK sejajar dengan Presiden, MPR, DPR, DPD maupun MA.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di dunia tidak terlepas dari gagasan judicial review Kasus Marbury vs Madison pada 1803. John Marshall mengatakan, ketika undang-undang bertentangan dengan Konstitusi, untuk pengujiannya bukan merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung Amerika Serikat. Maka putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak perkara Marbury vs Madison. “Walaupun demikian Kasus Marbury versus Madison menjadi preseden tersendiri untuk membuat suatu organ yang dapat menguji undang-undang terhadap Konstitusi,” imbuh Dian.
Dian menyampaikan ide judicial review kemudian berkembang hingga ke daratan Eropa. Pada 1920, pakar hukum Austria Hans Kelsen merespon gagasan judicial review dan melembagakan ke dalam bentuk lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA) dengan membentuk Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), jelas Dian, dibentuk pada 13 Agustus 2003. “Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah MK ke-78 di dunia tetapi merupakan MK yang pertama kali dibentuk pada abad ke-21,” ucap Dian.
MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utamanya adalah menguji undang-undang terhadap UUD. Kemudian ada kewenangan memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Termasuk juga kewenangan memutus pembubaran parpol dan memutus sengketa Pemilihan Umum. Sedangkan kewajiban MKRI adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum maupun melakukan perbuatan tercela.
Dalam sesi tanya jawab, ada mahasiswa yang menanyakan prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi. “Beracara di Mahkamah Konstitusi tidak harus bersertifikat advokat, yang penting bisa menjelaskan kedudukan hukumnya bahwa perorangan negara yang memiliki kerugian konstitusional dan sebagainya. Mengenai prosedur beracara semua sudah ada dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 dan 6 Tahun 2017,” terang Dian.
Selain itu, terkait pertanyaan mengenai persiapan khusus MK menghadapi Pilkada Serentak 2018, Dian menjelaskan sejumlah kegiatan sudah digelar MK menghadapi Pilkada Serentak 2018. Misalnya, dibuat kegiatan bimbingan teknis kepada Termohon selaku penyelenggara pemilu, seperti KPU, Bawaslu dan lainnya dalam beberapa gelombang. Juga ada bimtek bagi pasangan calon yang akan ikut Pilkada Serentak, diajarkan cara membuat permohonan dan lainnya. (Nano Tresna Arfana/LA)