Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Khaeruddin dan sejumlah Pemohon lainnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya pada Selasa (20/3) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 92/PUU-XV/2017.
Pemohon yang berprofesi sebagai advokat mempermasalahkan frasa ‘setiap waktu’ dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP. Pasal a quo menyatakan “Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.” Pemohon menjelaskan penasihat hukum yang hendak berkunjung kepada kliennya saat proses penyelidikan maupun penyidikan menjadi terhambat dalam praktik yang terjadi di lapangan akibat berlakunya aturan a quo. Hal tersebut tak hanya dirasakan Pemohon saja selaku advokat, namun juga untuk semua penasihat hukum lain yang ada di Indonesia.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat, dengan dicantumkan frasa “setiap waktu” telah memberikan keleluasaan waktu bagi penasihat hukum sebagaimana telah diberikan oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian, kewenangan diberikan kepada instansi berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, rumah tahanan untuk mengatur waktu kunjungan di rumah tahanan berdasarkan peraturan internal rumah tahanan dan tanpa mengurangi hak-hak konstitusional bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
“Jadi, penasihat hukum dapat menemui kliennya di luar batas waktu yang ditentukan oleh instansi yang bersangkutan apabila diperlukan demi kepentingan hukum tersangka atau terdakwa sesuai dengan ketentuan undang-undang. Misalnya dalam hal pemenuhan kebutuhan hukum yang mengharuskan penasihat hukum bertemu langsung dengan kliennya di luar pengaturan waktu yang telah ditentukan oleh rumah tahanan untuk pengunjung lainnya,” ungkap Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pendapat Mahkamah.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan hak untuk berkunjung, menghubungi, bertemu dan berbicara dengan tersangka atau terdakwa merupakan hak penasihat hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP, menurut Mahkamah, pasal tersebut tidak menimbulkan multitafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon. Karena pada dasarnya tidak dapat dimaknai hanya sebatas peristiwa konkret semata yang dialami para Pemohon.
Permohonan para Pemohon sejatinya bertolak dari peristiwa konkret berkenaan dengan pelaksanaan norma a quo dimana setiap instansi yang melakukan penahanan memiliki peraturan atau tata tertib jadwal kunjungan terhadap warga tahanan. Hal inilah yang kemudian menurut para Pemohon dianggap sebagai sebuah kerugian, karena para Pemohon tidak dapat secara bebas melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap tersangka.
Menurut Mahkamah, norma a quo telah memberikan kebebasan kepada penasihat hukum untuk menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang a quo. Para Pemohon telah mendapatkan hak-haknya untuk membela kliennya sesuai dengan waktu kunjungan yang telah ditentukan. Namun sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, demi kepentingan pembelaan klien yang mengharuskannya bertemu langsung, penasihat hukum dapat menemui kliennya di luar batas waktu kunjungan yang ditentukan untuk pengunjung lainnya.
“Dengan demikian, norma dalam pasal a quo sudah sejalan dengan jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada warga negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” ungkap Suhartoyo.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam materi muatan Pasal 70 ayat (1) KUHAP. Sehingga Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)