Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang diajukan Abda Khair Mufti dan dua Pemohon lainnya selaku pegawai swasta. Permohonan pengujian Pasal 55 UU MK terkait penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan tersebut, dinyatakan Mahkamah inkonstitusional bersyarat. Putusan Nomor 93/PUU-XV/2017 tersebut dibacakan Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (20/3).
“Menyatakan Pasal 55 MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”, sepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi,” ucap Anwar.
Pemohon yang merupakan pekerja pabrik menguji Pasal 55 UU MK terkait MA yang tak dapat menguji peraturan pemerintah (PP) jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di MK. Pemohon menjelaskan pihaknya hendak menguji Pasal 44 PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan ke MA. Namun Pemohon berkaca dari pengalaman terkait putusan serupa, maka permohonannya akan bernasib sama yakni ditolak MA. Pemohon menjelaskan MA sudah memutus perkara lain menyangkut PP Nomor 78 Tahun 2015. Hasilnya perkara ditolak karena dasar pengujiannya, UU Nomor 13 Tahun 2013, sedang diuji di MK.
Menanggapi permohonan tersebut, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat keberadaan Pasal 55 UU MK sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Kepastian hukum yang diinginkan dari penghentian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tidaklah perlu dipertentangkan dengan kepastian hukum bagi pencari keadilan ketika mengajukan permohonan uji materiil.
“Para pencari keadilan haruslah mendapatkan kepastian hukum atas permohonan pengujian terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Kepastian tersebut dapat diperoleh dengan menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Saldi.
Dengan demikian, lanjut Saldi, apabila Pasal 55 UU MK dilaksanakan dalam bentuk menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji Mahkamah Konstitusi, maka kepastian hukum proses pengujian dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan juga dapat dipenuhi. Hanya saja, lanjut Saldi, sebagaimana diterangkan Mahkamah Agung, Pasal 55 UU MK diterapkan dalam bentuk menghentikan proses pengujian peraturan perundang-undangan di mana undangundang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi dengan menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard, NO).
Sementara Waktu
Saldi menegaskan secara tekstual, maksud rumusan Pasal 55 UU MK sesungguhnya adalah untuk menghentikan sementara. Hal itu dapat dipahami dari penggunaan kata “dihentikan” dan frasa “sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Kedua rumusan dalam norma tersebut sesungguhnya bermakna bahwa penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung adalah untuk sementara waktu. Dengan konstruksi demikian, sambungnya, tidak ada putusan akhir bagi permohonan pengujian peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja, kata “dihentikan” membuka peluang ditafsirkan untuk dijatuhkannya putusan akhir berupa permohonan tidak dapat diterima.
“Sehubungan dengan hal demikian, keberadaan kata “dihentikan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum tersebut baik terkait substansi norma Pasal 55 UU MK sendiri maupun ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan untuk dapat mengikuti proses peradilan uji materiil sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan,” tegas Saldi.
Lebih lanjut, Saldi menjelaskan ketidakpastian hukum terhadap substansi norma a quo terjadi karena maksud yang terkandung dalam Pasal 55 UU MK hanya sebagai penghentian sementara sebagaimana dijelaskan Pemerintah dan Mahkamah Agung sebagai Pihak Terkait, ternyata tidak saja dapat dimaknai demikian. Norma tersebut juga mengandung pengertian bahwa permohonan dihentikan dengan putusan akhir dengan amar menyatakan permohonan uji materiil tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan akhir dengan amar tidak dapat diterima yang demikian tentunya tidak lagi dapat dimaknai sebagai penghentian sementara, melainkan menghentikan proses pengujian secara tetap. Dengan demikian, apabila pengujian materiil hendak diajukan lagi, maka harus dengan cara mengajukan permohonan baru, hal tersebut harus disertai dengan membayar biaya permohonan lagi, sebagaimana diterangkan oleh Pemohon yang dibenarkan oleh Pihak Terkait Mahkamah Agung dalam persidangan. “Oleh karena itu, norma Pasal 55 UU MK, khususnya kata “dihentikan” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang menjadi amanat UU Kekuasaan Kehakiman,” tegas Saldi.
Dalam konteks pemaknaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan terjadi karena apabila permohonan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji Mahkamah Konstitusi dihentikan dengan putusan akhir yang menyatakan tidak dapat diterima. Putusan tidak dapat diterima, lanjut Saldi, dapat dimaknai bahwa terdapat syarat formil semata yang tidak terpenuhi yang bukan disebabkan oleh kesalahan Pemohon. Dalam hal ini, pengujian terhadap undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang tidak berhubungan dengan kepentingan hukum pencari keadilan yang dijadikan sebagai penyebab terhadap dinyatakannya permohonan uji materiil peraturan perundang-undang di bawah undang-undang tersebut tidak dapat diterima. Artinya, pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil telah dirugikan oleh sesuatu yang bukan merupakan kesalahannya. “Dengan demikian, Pemohon uji materiil harus menanggung risiko berupa permohonannya diputus dengan dinyatakan tidak dapat diterima hanya karena undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang diuji pula oleh Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Oleh karena sumber ketidakpastian hukum tersebut adalah keberadaan kata “dihentikan”, maka beralasan hukum untuk menyatakan kata tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaannya”. Pemaknaan demikian juga sejalan dengan maksud awal perumusan norma Pasal 55 UU MK sebagaimana juga diterangkan Pemerintah.
“Bahkan, makna demikian jauh lebih memberikan kepastian hukum terhadap teks norma maupun kepastian hukum bagi proses uji materiil oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,” tandas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)