Sebanyak 26 orang peserta Diklat PIM Tingkat II Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) dari lingkungan Kementerian Kesehatan RI Angkatan Tahun 2018 diterima Kepala Biro Humas Rubiyo pada Kamis (15/3) di Ruang Delegasi MK.
Dalam rangka kunjungan Wawasan Kebangsaan, para pejabat eselon II yang berasal dari bermacam instansi di seluruh Indonesia tersebut ingin melihat nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang dilaksanakan di lingkungan MK. “Kami sedang mengikuti pembelajaran integritas dan wawasan kebangsaan, salah satunya dari MK. Untuk itu, dengan hadirnya di MK mudah-mudahan kami mendapatkan langsung bagaimana pelaksanaan wawasan kebangsaan dan nasionalisme di seputar MK,” jelas Nana Rukmana yang juga bertindak selaku moderator dari perwakilan Diklat PIMTingkat II BBPK.
Pada paparan berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Kepala Biro Humas dan Protokol Rubiyo mengawali dengan menyampaikan sejarah UUD 1945 yang diawali dengan adanya tuntutan reformasi, yang salah satu tuntutannya menghendaki amendemen UUD 1945. Dalam perjalananya, Perubahan UUD 1945 dilakukan selama 4 periode dalam 1 sidang umum dan 3 kali sidang tahunan pada 1999 hingga 2002. “Dengan demikian terjadi perubahan, di mana UUD NRI Tahun 1945 hanya ada dua hal yaitu Pembukaan dan Pasal-Pasal. Jadi, bagian penjelasan sudah tidak ada lagi,” jelas Rubiyo.
Selanjutnya, Rubiyo juga menjelaskan bahwa sebelum adanya amendemen, struktur ketatanegaraan di Indonesia bersifat vertikal-hierarkis. Namun setelah amendemen, terjadi perubahan dengan terwujudnya delapan lembaga negara yang sama derajatnya, yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden, MK, MA, KY, dan BPK. Dalam hal ini, berkaitan dengan lahirnya MK, secara teoretis tidak bisa dilepaskan dari gagasan Hans Kelsen pakar hukum asal Austria pada 1919 yang menyatakan pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Adapun dalam perkembangan gagasan constitutional review di Indonesia, konsep lembaga sejenis MK pernah disampaikan oleh Moh. Yamin dalam Sidang BPUPK. Namun, hal ini baru benar-benar direalisasikan setelah masa reformasi yakni pada 2003, MKRI pun lahir. Dengan mengusung visi “Mengawal Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Modern dan Tepercaya” MK hingga saat ini menjalankan empat kewenangan dan satu kewajibannya. “Jadi, dalam kewenangannya MK pada prinsipnya adalah pengawal konstitusi, jika ada UU yang disahkan DPR merugikan masyarakat, maka bisa diajukan ke MK,” jelas Rubiyo.
Usai mendapatkan sejumlah materi, para peserta diperkenankan untuk mengajukan sejumlah pertanyaan pada pemateri. Berikutnya, kegiatan ditutup dengan kunjungan ke Pusat Sejarah dan Konstitusi untuk menyaksikan diorama sejarah konstitusi Indonesia. (Sri Pujianti/LA)