Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Irfan Nur Rachman menerima 13 mahasiswa dan dua dosen Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah Universitas Darussalam Gontor Ponorogo pada Senin (12/3) pagi di ruang delegasi, lantai 4 Gedung MK.
Pada pertemuan itu, Irfan menerangkan bahwa negara Indonesia dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Ketuhanan yang menjadi fundamen dalam berbangsa dan bernegara. “Oleh karena itu banyak sekali frasa dalam Konstitusi kita yang mencantumkan Kemerdekaan Indonesia diperoleh atas berkat Rahmat Allah SWT. Kemudian juga dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan tentang Pancasila. Ada juga pasal dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga dikenal pula dengan religious welfare state, yakni negara kesejahteraan yang religius. Juga disebut sebagai religious nation state, yakni negara kebangsaan yang religius,” urai Irfan.
Dengan demikian, sambung Irfan, karakter negara Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara Islam, namun menggabungkan nilai-nilai kebaikan di masing-masing agama untuk ditarik menjadi sebuah nilai dalam prinsip-prinsip negara. “Prinsip-prinsip Ketuhanan yang universal itu kemudian diangkat ke dalam Konstitusi, sebagai pedoman kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” papar Irfan.
Dikatakan Irfan, nilai-nilai agama berpengaruh besar terhadap peradilan dan penegakan hukum. Karena konsepsi hukum dasar Indonesia yang dibangun dilakukan atas dasar nilai-nilai Ketuhanan. “Otomatis ini akan memengaruhi terhadap pola hubungan dan relasi antara lembaga negara maupun dalam rangka lembaga negara melaksanakan fungsi dan kewenangannya,” tandas Irfan.
Irfan juga memaparkan soal konsepsi peradilan Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) muncul perdebatan antara Mohammad Yamin dengan Soepomo. Yamin mengusulkan agar Balai Agung perlu diberikan kewenangan untuk membanding undang-undang. Tujuannya agar undang-undang tidak bertentangan dengan hukum dasar Indonesia atau Konstitusi sebagai hukum tertinggi. Namun Soepomo menentang gagasan Yamin itu dengan sejumlah alasan. Di antaranya, Indonesia belum menganut pemisahan kekuasaan tetapi pembagian kekuasaan. Selain itu, kala itu belum banyak sarjana hukum yang menguasai hukum tata negara.
“Alasan berikutnya, ada sebuah kebingungan ketika ada produk hukum yang bertentangan dengan Konstitusi, hendak diuji selain terhadap Undang-Undang Dasar itu kemana? Karena kita mengetahui Undang-Undang Dasar itu hanya sebesar teks-teks tua tanpa makna yang hanya ditafsirkan berdasarkan bunyi pasal-pasalnya saja. Undang-Undang Dasar itu mengandung makna yang lebih jauh jika Undang-Undang Dasar itu ditafsirkan berdasarkan makna kontekstual sesuai perkembangan zaman saat itu,” imbuh Irfan.
Oleh karena itu, kata Irfan, seringkali dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjadi the living constitution atau ‘konstitusi yang hidup’. Caranya adalah dengan menafsirkan Undang-Undang Dasar sesuai dengan zamannya.
Bertahun-tahun kemudian, pada proses amendemen ketiga UUD 1945 pada 2002, muncul kembali gagasan perlunya dibentuk lembaga penguji undang-undang. Alhasil pada 13 Agustus 2003 terbentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan empat kewenangan yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil Pemilu. Selain itu MK memilliki kewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Pelindung Hak Konstitusional
Dalam sesi tanya jawab, Irfan menjawab soal adanya bukti baru dalam sebuah perkara. “Adanya novum atau bukti baru, perkara itu bisa diajukan kembali. Mana tahu bukti baru itu bisa digunakan si terpidana. Karena itu MK dalam putusannya selalu mempertimbangkan tiga asas yaitu asas keadilan, asas kepastian hukum, asas kemanfaatan. Misalnya penggunaan KTP dalam Pilpres, itu kita bicara masalah asas kemanfaatan,” jelas Irfan.
Irfan juga menjawab pertanyaan lainnya mengenai peran MK sebagai pelindung hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia. “Siapa pun yang datang ke MK yang merasa haknya terlanggar, MK dengan putusannya bisa membalikkan hak yang terlanggar tersebut,” tandas Irfan. (Nano Tresna Arfana/LA)