Permohonan pengujian Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran membelenggu IDI dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak hanya itu, uji materiil tersebut membelenggu independensi organisasi profesi IDI untuk memajukan praktik kedokteran. Demikian disampikan Muhammad Joni selaku kuasa hukum PB-IDI (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan pengujian UU Praktik Kedokteran pada Rabu (5/12) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran. Para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Lebih lanjut, Joni menjabarkan bahwa IDI terbuka dengan perkembangan dan kemajuan praktik kedokteran, mengemban peran sebagai agen pembaruan dan pembangunan serta menjamin kompetensi seorang dokter agar tetap memenuhi standar perkembangan dunia kedokteran dan ilmu kedokteran termutakhir.
“Jika permohonan dalam perkara a quo dikabulkan, hal ini akan membelenggu peran IDI sebagai agen pembaru dan pembangunan adalah bertentangan dengan Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017,” ujar Joni di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Empat Domain
Berkaitan dengan dalil para Pemohon, tambah Joni, yang menyatakan MKKI adalah subordinat IDI adalah tidak benar. Berdasarkan ketentuan struktur kepemimpinan diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Anggaran Dasar IDI yang menyatakan struktur kepemimpinan IDI di tingkat pusat terdiri dari PB IDI, MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian(MPPK), dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). “Dengan demikian, ada empat puncak domain sistem kepemimpinan IDI,” terang Joni.
Selanjutnya, Joni juga menyampaikan bahwa berkaitan dengan permohonan para Pemohon meminta agar Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran dimaknai dengan menambahkan frasa “dengan struktur kepemimpinan terditi atas PB IDI, MKKI, MKEK, MPPK yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan tugasnya” adalah mengekang dan merusak kemandirian organisasi profesi IDI dalam mengembangkan organisasi profesi karenamembatasi pengembangan IDI. Berikutnya, merujuk pada kewenangan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kedokteran, menurut Pihak Terkait adalah hal keliru dan tidak tepat apabila para Pemohon memintapengawasan pemerintah yang bukan organ berbasis kompetensi maupun pengawasan KKI. “Karena KKI adalah badan otonom mandiri nonstruktural dan independen,” jelas Joni.
Sertifikat Kompetensi
Pada kesempatan yang sama, Pemohon menghadirkan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Wahyuning Ramelan selaku saksi yang sejak 1964 telah menjabat sebagai pengajar tetap di FK UI. Dalam kesaksiannya, Ramelan menjabarkan sebelum ditetapkannya UU Praktik Kedokteran, pada ijazah bagi lulusan kedokteran telah termuat di dalamnya kompetensi sebagai dokter dan dapat berpraktik sehingga tidak ada istilah sertifikat kompetensi. Dengan munculnya UU Praktik Kedokteran yang secara eksplisit memisahkan kompetensi dari ijazah. Sehingga sertifikat diberikan oleh kolegium.
“Jadi, kolegium adalah bagian dari perimbangan profesi yang secara khusus mengampu hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Karena organisasi IDI meliputi hal yang sangat luas sehingga aspek yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dan pendidikan diadakan oleh kolegium,” ujar Ramelan.
Sebelumnya, para menyatakan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia,” Pemohon menilai pasal tersebut ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa sekitar tahun 2000. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Sri Pujianti/LA)